Assalamu’alaikum sobat
jumpa lagi, berikut akan membahas tentang Kondisi
Fikih Pada Masa Tabi’in. Silahkan disimak selengkapnya.
KONDISI FIKIH PADA MASA
TABI’IN
Periode tabiin ini
dimulai sejak perebutan kekuasaan khilafah antara Hasan bin Ali bin Abi Thalib
dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang terjadi pada tahun 41 H sampai berakhirnya
kekuasaan Bani Umayyah atau lebih sedikit dari masa tersebut. Periode ini
meskipun masih ada nama sahabat namun jumlahnya sedikit. Tabi’in sering disebut
generasi terbaik setelah sahabat karena mereka ikut merasakan hidup bersama
generasi sahabat. Bahkan masih ada sebagian sahabat yang menyertai kehiduopan
mereka.2[1]
Meskipun negara islam telah menyebar luas keberbagai
belahan penjuru dunia., namun negara islam adalah suatunegara yang umatnya
dengan mudah pindah dari satu wilayah kewilayah lainnya. Demikian dengan para
Tabi’in merantau dari satu wilayah kewilayah lain demi untuk mendapatkan ilmu
dari para sahabat pendahulunya yang hidp diberbagai belahan wilayah. Sumber rujukan
penetapan hukum pada masa Tabi’in ini adalah al-Qur’an, al-sunnah, ijtihad para
sahabat. Apabila mereka tidak menemukan didalam ketiganya, para Tabi’in
ber-ijtihad dengan mendasarkan pada patokan dan sinaran ajaran dalam al-Qur’an,
al-sunnah serta kaidah-kaidah yang digunakan sahabat dalam ber-itihad.
Tabi’in yang sangat luas dan longgar dalam menggunakan
ra’y sehingga mereka dikenal dengan sebutan ahl al-ra’y, tokoh ahli ahl al-ra’y
generasi Tabi’in ini adalah Ibrahim bin Yazid al-Nakhai yang wafat tahun 96 H.
Pada masa Tabi’in ini ada dua kelompok yang berbeda dalam merumuskan hukum
yaitu kelompok Madinah dan kelompok Kufah. Kelompok Madinah lebih mengedepankan
peran dalil naqli (nas al-Qur’an dan al-Sunnah) dibandingkan peran ra’y (akal),
sedangkan kelompok Kufah lebih mendahulukan peran ra’y (akal) dibandingkan
penggunaan dalil nas al-Qur’an dan al-Sunnah.
Perbedaan
kedua kelompok Fuqaha’ tersebut hanyalah pada presentase atau porsi penggunaan
ra’y dan dalil nas dalam penetapan hukum. Artinya kelompok Madinah masih
menggunakan ra’y namun didominasi peran nas, sedangkan kelompok Kufah masih
menggunakan dalil nas, namun lebih didominasi penggunaan ra’y. Periode Tabi’in
ada 2 hal yang membedakan periode sebelumnya pertama, terjadinya perbedaan yang
semakin luas. Kedua, terjadinya kelonggaran dalam periwayatan al-Sunnah. Meluasnya
terjadinya perbedaan disebabkan oleh beberapa faktor sebagai beriku :
1.
Semakin banyaknya penggunaan ra’y
2.
Pergolakan politik yang menimp Daulah
Islamiyyah yang telah memecah belah persatuan dan kesatuan umat islam.
3.
Penyebaran al-Sunnah ke daerah-daerah
wilayah Daulah Islamiyyah sesuai dengan sahabat yang membawanya.
4.
Adanya perbedaan sosio-kultur
wilayah-wilyah taklukan yang memiliki adat dan tradisi yang berbeda-beda.
Sedangkan
semakin merebaknya periwayan al-Sunnah disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut
:
1.
Jika pada massa sahabat mengkhawatirka
umat islam akan lebih sibuk dengan al-sunnah dengan melupakan al-Qur’an.
2.
Terkait terjadinya fitnah dan pergolakan
sebagian besar telah dijelaskan solusinya oleh Rasulullah dalam al-Sunnah.
3.
Adanya kejadian dan peristiwa baru yang
memerlukan solusi hukum.
4.
Adanya anggapan dosa menyimpang ilmu
sehingga harus disebarluaskan salah satunya melalui periwayatan Hadits.
Dampak
dari merebaknnya periwayatan Hadits adalah lahirnya orang-orang yang sebenarnya
tidak memiliki kapabilitas sehingga banyak riwayat palsu. Meskipun pada masa
Rasulullah, masa Sahabat, dan masa Tabi’in persoalan hukum dan jawabannya sudah
ada, namun fikih belum menjadi sebuah disipin ilmu. Fikih pada ketiga masa itu
hanya ada dalam realitas kehidupan masyarakat, namun belum ada karya fikih yang
dibukukan. Lahirnya karya-karya fikih baru terjadi pada masa berikutnya yaitu
masa Imam Madhhab sebagimana uraian berikut ini.[2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar