Jumat, 17 November 2017

Makalah Klasifikasi Sains Dalam Pemikiran Ibnu Khaldun

KLASIFIKASI SAINS DALAM PEMIKIRAN IBNU KHALDUN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Falsafah Kesatuan Ilmu
Dosen Pengampu: Dr. Ilyas Supena, M.Ag


Disusun Oleh :
Fitria Cahyaningrum               (1601036015)
Lia Lailatul Khasanah             (1601036017)
Aly Mahfudz                          (1601036036)
Moch. Rehan Mubarok           (1601036021)
M. Ardian C.T.H                    (1601036032)



MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

2017


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Nama sebenar Ibnu Khaldun ialah Abdul al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Khaldun al-Hadrami. Nama Khaldun berasai dari keturunan Khalid bin Uthman iaitu seorang tentera Yaman yang pernah bergabung dengan tentera Andalusia. Semasa di Andalusia, nama Khalid bertukar kepada Khaldun. Dilahirkan di Tunisia pada tahun 732H/1332M dan meninggal dunia di Kaherah.
Muqaddimah inilah karya monumental Ibnu Khaldun, seorang ilmuwan dan sejarawan agung pada abad ke-14 M. Buku yang ditulis pemikir dari Tunisia, Afrika Utara itu tercatat sebagai karya yang sangat mengagumkan. Pengaruhnya begitru luar biasa, tak hanya mewarnai pemikiran  di dunia Islam, namun juga peradaban Barat.

B.     Rumusan Masalah
1.       Bagaimana Biografi Ibnu Khaldun?
2.      Apa Corak Pemikiran Ibnu Khaldun?
3.      Bagaimana Pemikiran Filsafat Ibnu Khaldun?
4.      Bagaimana Pandangan Sains Dalam Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun ?


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Biografi Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun lahir di Tunisia (1332 M-1406 M) dengan nama lengkap Wahyuddin  Abdurrhman bin Muhammad bin Khaldun al-Hudroni. Massa pertama kehidupan Ibnu Khaldun adalah menjalani masa remaja da beajar hingga usia 20 tahun dikota Tunis-Tunisia, tempat kelahirannya. Ayahnya seorang keturunan Arab, sedangkan ibunya berdarah campuran antara bangsa barbar dan Spanyol. Keluarga Ibnu Khaldun mempunyai pengaruh yang luas dibidang politikpada abad XI.[1] Keluarga Ibnu Khaldun berasal dari wilayah Hadraaut-Yaman yang berhijrah sejak perluasan wilayah islam ke Adalusia dan berdomisili diwilayah Sevilla,Spanyol.[2]
Ibnu Khaldun dilahirkan di keluarga yang berpendidikan yang terhormat ia dibesarkan dalam atmosfer pendidikan yang baik. Ayah Ibnu Khaldun adalah guru pertamanya, ia belajar membaca dan menghafal al-Qur’an kemudian belajar qiraat (tata baca) kepada Imam Andalus. Ibnu Khaldun belajar memebaca, menulis dan ilmu bahasa dari ayahnya sendiri. Selain itu, ia juga belajar Fiqih, retorika dan bahasa arab dan mempelajari kitab-kitab Hadist. Diantaranya adalah al-kutub as-sittah dan al-muwatta, serta mendapatkan ijazah keilmuan dalam bidang ini, ia juga mempelajari secara mendalam fiqih madzhab Maliki.[3]
Masa kedua perjalanan hidup Ibnu Khaldun disebut sebaga masa Petualangan politik, yang bermula diusia 20 tahun hingga 43 tahun. Ibnu Khaldun saat itu bertekat berangkat kekota Fez-Maroko untuk menimba ilmu, yang kala itu tempat tersebut kaya dengan para ulama tekenal yang hijrah ke Andalusia. Karir Ibnu Khaldun diawali dengan menjadi seorang sekretaris pribadi bagi Sultan Muda Abu Ishaq. Jabatan demi jabatan diterima Ibnu Khaldun diberbagai dinasti yang berganti ganti menguasai wilayah Afrika Utara. Setelah lebih dari 30 tahun berpolitik, Ibnu Khaldun memilih beristirahat dari dunia politik dan berkonsentrasi pada dunia keilmuan. Ia memutuskan untuk berhenti dan kemudian menulis al-Ibar beserta muqaddimah pada tahun 779H.
Masa ketiga kehidupan Ibnu Khaldun adalah menjalani masa  tua dan isolasi diri untik konsentrasi terhadap ilmu pengetahuan yang dimulai dari usia 43 tahun hingga wafatnya. Pada saan itu Ibnu Khaldun memeilih meninggalkan dunia politik dan ia mulai mengarang kitab Al-Muqqadimah yang sangat legendaris itu. Saat mengarang kitab tersebut, Ibnu Khaldun merasa kekurangan referensi dan meninggalkannya selama 27 tahun kemudian ia menyelesaikan kitab Al-Muqaddimah di Tunisia.
Dalam Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun , meninggalkan tanda-tanda kemunduran islam dan jaruh bangunnya kekhalifahan melalui pegalamnnya selama mengembara ke Andalusia dan Afrika Utara. Meskipun telah berkonsentrasi mengaar dan mendalami ilmu, lawan-lawan Ibnu Khaldun terus mengganggu yang akhirnya ia memutuskan meninggalkan Tunisia dan Arab Magribi. Pada tahun 1382 ia meninggalkan Tunisia menuju Alexandria dan kemudian ke Cairo. Ia mulai mejalani hidup di Cairi sebagai pengajar di Universitas Al-Azhar. Pada tahun 1384 ia diangkat sebagai hakim untuk Madhab Maliki. Pada bulan Desember 1400, Ibnu Khaldun keluar  dari Cairo menuju Damaskus. Di Damaskus, ia kembali menghadapi sebuah pertarugan kekuasaan yang memaksa ia kembali ke Cairo, pada tahun 140 ia tiba di Cairo dengan sambutan hangat dan diangkat kembali sebgai hakim hingga wafatnya pada tanggal 17 Maret 1406.

B.     Corak Pemikiran Ibnu Khaldun 
Ibnu Khadun sebagai seorang pemikir merupakan sebuah produk sejarah. Oleh karena itu untuk memebaca pemikirannya, aspek sistoris dan pengetahuan agama islam. Sebagai seorang Filosof muslim pemikiran ibnu khaldun sangatlah rasional dan banyak berpengaruh kepda logika sementara itu pandangan lain, menyatakan bahwa ibnu khaldun mendapat pengaruh dari ibnu Rusyd (1126-1198 M) dalam masalah hubungan antara filsafat dan agama namun, ada ciri utama yang sangat khas dari pemikiran ibnu khaldun yaitu ia berhasil menyatukan pemikiran yang sangat berbed dari pemikiran filsafat Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.[4]
Semua hasil pemikiran dari Ibnu Khaldun adalah hasil dari kondisi sosio-kultural yang ada pada masanya. Al-muqaddimah, pendahuluan bagi kitab al-‘ibar merupakan perasaan dari hasil renungan teoritisnya, pengalaman empirisnya sebagai tokoh yang terlibat langsung dalam intrik-intrik politik Afrika Utara dan Granada. Corak pemikirannya yang rasionalistik-empiristik, sufistik kirannya telah dijadikan dasar pijakan dalam membangun teori-teori sejarahnya. Beberapa karya yang cukup terkenal dari ibnu khladun:
1.      Kitab al-Ibar (7 jilid) yang telah ia refisi dan ditambahnya beberapa bab baru didalamnya, nama kitab ini menjadi Al-‘Ibar Wa Diwanul Mubtadak’awil Khabar Fiayyamil ‘Arab Wal ‘Ajam Wal Barbar Wa Man’asharahum Min Dzawis Sulthan Akbar. Kitab ini pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada tahun 1863, dengan judul Les Prolegomenes d’Ibn Khaldoun.  
2.      Muqaddimah Ibnu Khaldun (pendahuluan atas kitab Al-‘Ibar yang bercork sosiologi-historis, dan filosofis).
3.      At-ta’rif bi Ibnu Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya).
4.      Lubub Al-Muhassal Fi Ushul At-Diin ( sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar Al-Mutakadimiin Wa Al-Muta’akh-khiriin karya Imam Fahrudi ar-Razi).
Selain karya diatas masih banyak lagi karya-karya Ibnu Khaldun yang tidak kalah pentingnya.
C.    Pemikiran Filsafat Ibnu Khaldun
1.      Filsafat Sejarah
Tujuan umum penulisan sejarah bagi Ibnu Khaldun adalah agar generas berikutnya dapat mengetahui dan menyikapi keadaan masa lalu serta dapat mengambil ibrah dalam upaya membangun masa depan. Sejarahlah yang menjadi jembatan pertemuan masa lalu dan masa yang akan datang. Ibnu Khaldun sangat menonjol diantara sejarawan lainnya, karena memperlakukan sejarah sebagai ilmu tidak hanya sebagai dongeng. Dia menulis sejarah dengan metode beru unuk menerangkan, memberi alasan dan mengembangkannya sebagai fisafat sosial.
Dalam hal ini ia menggagas tentang perlunya merujuk kepada tempat peristiwa kemudian dipautkan sebagai korelasi dengan masyarakat yang mengitarinya. Topik sejarah menurut ibnu khaldun adalah studi sosial atau dinamika masyarakat secara integral berikut sebab-sebabnya. Dinamika sejarah ini enurut ibnu khaldun bukan muncul dari luar tetapi proses sosial itu sendiri dengan segaa aturannya yang alami. Salah satu buku yang ditulis ibnu khaldun dalam perspektif filsafat sejarah adalah al-muqaddimah, buku in ditulis berdasarkan faktafakta sejarah tentang bangsa-bangsa. Buku ini dikereksi secara teliti dengan menggunakan metode yang menakjubkan. Sayang ibnu khaldun tidak menyebutkan apa dan bagaimana metodennya bekerja, khaldun mengakui kelemahannya dalam mengatasi sulitnya menulis buku ini dengan berbagi problem yang ada hingga ia harus meminta pembacanya untuk merespon secara kritis.[5]
Salah satukesalahan dalam historiografi ialah mengabaikan perubahan situasi dan kondisi pada bangsa dan generasi. Perubahan-perubahan ini sangat tersembunyi, sehingga perubahan itu sukar sekali dilihat. Perubahan itu terjadi karena kebiasaan setiap generasi mengikuti kebiasaan pemerintah. Sebagaimana pribahasa “Rakyat mengikuti agama Rajanya”. Keterangan sejarah bisa diinfiltrasi oleh manipulasi. Pebannya adalah:
a.    Keterlibatan yang terlalu dalam terhadap madzhab
b.   Kepercayaan yang berlebihan terhadap orang-orang yang memberitakan sejarah
c.   Tidak dapat memahami maksud yang sebenarnya
d.   Asumsi yang tidak beralasan terhadap kebenaran
e.    Ketidak tahuan tentang bagaimana peristiwa sesuai dengan realitas
f.  Kecenderungan terikat pada orang besar, berkedudukan tinggi untuk memuji, menyiarkan kemashuran, menganggap baik segala kebutuhan mereka
g.  Ketidak tahuan tentang watak berbagai peristiwa yang muncul dalam peradaban.
Perihal kebenaran sejarah, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa hukum sejarah berlaku secara universal sehingga kebenarannya dapat terungkap. Untuk mengetaui benar tau salah suatu sejarah didasarkan atas kemungkinan da ketidak mungkinan. Kita harus mempelajari hidup manusia untuk mengetahui perbedaan karakteristik pokok dengan karakteristik umum. Pedoman untuk menyatakan kebenaran suatu sejarah adalah dengan menggunakan metode yang dapat ditunjukkan dan diakui masyarakat hingga bersih dari kesatuan. Karena itu, Ibnu Khaldun beurusaha mempertautkan sejarah dengan filsafat. Dengan cara ini, ibnu khaldun tampaknya ingin mengatakan bahwa sejarah memberikan kekuatan intuisi dan inspirasi kepada filsafat, sedangkan filsafat menawarkan kekuatan logika kepada sejarah, dengan begitu seorang sejarawan akan mampu memperoleh hasil yang relatif valit dari proses penelitian sejarahnya dengan dasar logika kritis.
2.      Filsafat Sosial
a.       Orang Badui dan Orang Kota
Manusia hidup bermasyarakat tidak lain hanya untuk saling membantu dalam memperoleh kehidupan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Diantara mereka ada yang hidup bertani, menanam sayur dan buah-buahan dan memelihara binatang.[6] Orang Badui hidup di padang pasir, sedangkan orang kota menetap orang Badui merupakan basis dan lebih tua daripada orang-orang kota yang penduduknya menetap.
Penduduk kota banyak berurusan dengan hidup enak mereka terbiasa hidup mewah dan banyak mengikuti hawa nafsu. Jiwa merek telah dikotori oleh berbagai macam akhlak tercela. Sedangkan orang badui meskipun juga berurusan dengan dunia namun masih dalam batas kebutuhan bukan dalam kemewahan, hawa nafsu dan kesenangan.Orang badui lebih beradi daripada penduduk kota, karena penduduk kota malas dan suka yang mudah-mudah. Mereka larut dalam kenikmatan dan kemewahan mereka mempercayakan urusan keamanan diri dan harta pada penguasa, sedangkan orang badui hidup memencilkan diri dari masyarakat mereka hidup liar ditempat-temat jauh dari luar kota dan tidak pernah mendapatkan pengawasan tentara. Karena itu mereka sendiri yang mempertahankan diri merekasendiri dan tidak minta bantuan pada orang lain.
b.      Solidaritas Sosial
Hanya suku yang etrikat solidaritas sosial yang mampu bertahan hidup dipadang pasir di kalangan suku-suku badui, pengaruh wibawa ada pada pamuka suku. Kamung-kampung suku badui dijaga dari serangan musuh yang datang dari luar dengan satu pasukan yang terdiri dari pemuda gagah berani. Penjagaan yang mereka lakukan baru akan berhasil apabila mereka terdiri dari satu ikatan solidaritas sosial. Solidaritas sosial itu berasal dari ikatan darah atau kata lain yang memiliki ungsi yang sama apabila tingkat kekeluargaan antara dua orag dekat sekali maka, jelaslah bahwa ikatan darah itu membawa kepada solidaritas yang sesungguhnya, apabila tingkat kekeluargaan itu jatuh maka ikatan darah itu lemah.
Tujuan akhir solidaritas adalah kedaulatan. Karena solidaritas itulah yang memepersatukan tujuan, mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kadaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tidak ada hubungan dengannya. Jika solidaritas itu setara maka orang-orang berada dibawahnya akan sebanding, jika solidaritas sosial dapat melakukan solidaritas lain, keduanya akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tingg dari kedaulatan. Akhirnya apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya maka, solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara.
Orang badui dapat memiliki kedaulatan hanya dengan mempergunakan rona relijius, seperti kenabian, kewalian atau pengaruh agama yang besar. Karena sifat lir yng ada pada mereka, orang badui menjadi bangsa yang paling sulit dipimpin orang lain. Sifat merek kasar, bangga, ambisius dan berlomba-lomba menjadi pemimpin, namun apabila ada agama disana melalui kenabian atau kewalian maka mereka memiliki pengaruh yang menguasai diri mereka. Dengan demikian, mudah bagi mereka untuk tunduk dan berkumpul membentuk kesatuan sosial. Agama itu melenyapkan sifat kasar dan bangga diri.
c.       Filsafat Politik
1.      Pemerintahan
Salah satu topik kajian Ibnu Khaldun adalah tentang pemerintahan. Menurut ibnu khaldun kerajaan hanya bisa ditegakkan dengan solidaritas sosial. Kedudukan sebagai raja adalah suatu kedudukan yang terhormat dan diperebutkan karena memberikan kepada orang yang memegang kedudukan itu segala kekayaan duniawi dan jugakepuasan lahir dan batin. Suatu satu golongan umat manusia hanya bisa mendapat kekuasaan dengan berjuang,yaitu perjuangan yang kemenangan dan berdirinya suatu negara. Apabila tujuan itu telah tercapai, perjuangan akan berhenti. Mareka malah hidup bersenang-senang dan bermalas-malasan, kini mereka menikmati kekuasaan.[7]
Negara hancur karena beberapa sebab: pertama, pemusatan kekuasaan.
Apabila seseorang telah memusatkan kekuasaan, berarti ia telah menekan kekuasaan, berarti ia telah mulai menekan keinginanan orang lain dan merusak perasaan solidaritas. Akibatnya anggota golongan menjadi malas dan enggan berperang. Solidaritas telah dilemahkan oleh hilangnya sikaf  kejantanan dan negara mendekati kehancura.
Kedua, pembentukan suatu negara membawa pada kemewahan disertai dengan bertambahnya kebutuhan dan akibat buruk karena pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. Rakyatlah yang menderita sedangkan orang-orang kaya bermewah-mewahan.
Ketiga, watak negara menurut ketuhan. Jika orang sudah membiasakan diri dengan kepatuhandan malas akibat kemewahan yang daraih, maka mereka menjadi lemah.
Dalam muqaddimahnya ibnu khaldun menyebut tahap-tahap timbul tenggelamnya suatu negara menjadi lima tahap yaitu:
a. Tahap konsolidasi dimana otoritas negara dengan dasar “demokrasi” didukung oleh masyarakat (‘ashabiyyah)
b.    Tahap tirani
c. Tahap penyalah gunaan wewenang otoritas negara untuk kepentingan penguasa.
d. Tahap pengamanan dari munculnya ancaman dimana penguasa selalu memandang kelompok kritis sebagai lawan
e.    Tahap keruntuhan. Dimana sistem kekuasaan tidak lagi berfungsi.
Ibnu Khaldun menyakini bahwa masyarakat yang pada mulny bik atau sekurang-kurangnya netral itu dirusak oleh peradaban. Dalam kondisi nomadik, masyarakat cenderung bersifat jantan, sehat dan agresif. Peradaban kota yang mapanlah yang membutnya menjadi lesu, pasif dan lamban, tetapi memancing-mancing invasi yang membuatnya teruruk menjadi mangsa.
2.      Negara Berdasar Agama
Tidak ada suatu negara yang tegak dn kuat tanpa hukum. Apabila hukum dibuat oleh orang cerdik pandai, maka pemerintahan itu berdasarkan akal. Apabila hukum itu ditentukan oleh Allah dengan perantaraan Rasul, maka pemerintahan itu berdasarkan agama. Oleh karena itu, seharusnyalah negara berdasarkan agama maka, kekhalifahan adalah memerintah rakyat sesuai dengan petunjuk agama, baik soal akherat maupun dunia.
Ibnu Khaldun lalu menyebutkan beberapa persyaratan khalifah:
a.     Memiliki pengetahuan
b.    Memiliki sifat adil
c.    Adanya kemampuan
d.    Sehat panca indra dan anggota badan
e.    Keturunan Quraiys
Ibnu Khaldun berharap agar penguasa-penguasa muslim menjadi bijak, arif dan tidak tenggelam dalam keserakahan. Kemungkinan harapan dari pemikiran Ibnu Khaldun yang menjadi salah satu faktor mengapa ibnu khaldun kerap disebut sebagai sejarawan pesimis. Kesesuaian konsep ibnu khaldun dalam ercaturan sosial politik kontemporer terutama dinegar-negara muslim yang menjunjung tiggi nilai-nilai kemanusiaan, semestinya menjadi emicu bagi para pemerhati masalah ini untuk merefleksikan konsep-konsep tersebut hingga suntansi politik senantiasa melibatkan dimensi kemanusiaan sebagai unsur penting dalam suatu tindakan politik. Maka dari urauan ditas, pemikiran ibnu khaldun tampaknya cukup respresentatif untuk dijadikan bahan perenungan para penulis sejarah, politisi dan cendekiawan muslim khususnya.
D.     Sains Dalam Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun
Muqaddimah Inilah karya monumental Ibnu Khaldun, seorang ilmuwan dan sejarawan agung pada abad ke-14 M. Buku yang ditulis pemikir dari Tunisia, Afrika Utara itu tercatat sebagai karya yang sangat mengagumkan. Pengaruhnya begitru luar biasa, tak hanya mewarnai pemikiran  di dunia Islam, namun juga peradaban Barat.Orang Yunani menyebut karya Ibnu Khaldun itu sebagai Prolegomena. Sejumlah pemikir sepakat bahwa Muqaddimah adalah karya pertama yang mengkaji  filsafat sejarah, ilmu-ilmu sosial, demografi, histografi serta sejarah budaya. 
Selain itu, Ibnu Khaldun  dalam adikaryanya itu juga membedah dan mengupas masalah teologi Islam.  Yang  lebih menarik lagi, Ibnu Khaldun pun membahas sains atau ilmu pengetahuan alam dalam kitabnya yang sangat populer itu. Secara khusus, Ibnu Khaldun mengupas tentang studi biologi dan kimia dalam bab tersendiri mengenai ilmu pengetahuan alam yaitu diantaranya:
1.      Biologi
Teodros Kiros dalam karyanya Explorations in African Political Thought, mengatakan, dalam bidang biologi secara khusus Ibnu Khaldun membahas masalah teori evolusi. Menurut Khaldun, dunia ini dengan segala isinya memiliki urutan tertentu dan susunan benda. Ia mencoba mencoba mengaitkan antara penyebab dan hal-hal yang disebabkan, kombinasi dari beberapa bagian penciptaan dengan yang lain, dan transformasi dari beberapa wujud menjadi sesuatu yang lain.
Selain itu, Ibnu Khaldun juga membahas penciptaan dunia. Menurut dia, makhluk hidup berawal dari sebuah mineral kemudian berkembang dan berakal. Secara bertahap, kemudian berubah menjadi tanaman dan hewan. “Tahap terakhir mineral ”terhubung” dengan tahap pertama dari tanaman, seperti tumbuhan dan tanaman tak berbiji,” tutur Ibnu Khaldun.Tahap terakhir tanaman, lanjut dia, seperti pohon kelapa dan tumbuhan yang merambat (pohon anggur), terhubung dengan tahap pertama binatang, seperti keong (siput) dan kerang yang hanya memiliki kekuatan sentuh.
Menurut Ibnu Khaldun, dunia binatang kemudian semakin meluas menjadi berbagai jenis. Dalam proses penciptaan bertahap, hewan/binatang akhirnya mengarah ke bentuk manusia, yang mampu berpikir dan mengartikan. “Tahap tertinggi manusia dicapai dari dunia kera, di mana kedua kecerdasan dan persepsi ditemukan, namun belum mencapai tahap refleksi dan berpikir sebenarnya,” tutur Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun ternyata seorang penganut determinisme lingkungan. Dia menjelaskan bahwa kulit hitam itu disebabkan oleh iklim panas dari gurun Sahara Afrika dan bukan karena keturunan. “Dia justru menghalau teori Hamitic, di mana anak-anak Ham yang dikutuk oleh makhluk hitam, sebagai mitos,” jelas Chouki El Hameldalam karyanya  Race, slavery and Islam in Maghribi Mediterranean thought: the question of the Haratin in Morocco.
2.      Kimia
Menurut George Anawati, dalam bidang kimia, Ibnu Khaldun adalah seorang kritikus praktik kimia pada dunia Islam. “Dalam bab 23 berjudul Fi ‘Ilm al-kimya, ia membahas sejarah kimia, yang dilihat dari ahli kimia seperti Jabir ibnu Hayyan (721-815 M), dan teori dari perubahan logam dan elixir (obat yang mujarab) kehidupan. ” ungkap Anawati dalam karyanya  Arabic Alchemy. Anawati menambahkan dalam bab 26  Kitab Muqaddimah yang berjudul thamrat Fi inkar al-kimya wa istihalat wujudiha wa ma yansha min al-mafasid,  Khadlun  menulis sebuah sanggahan sistematis tentang kimia dalam sosial, ilmiah, filosofis dan dasar agama. “Dia mengawali sanggahan pada dasar sosial, argumentasi bahwa banyak ahli kimia yang mampu mendapatkan penghasilan dari hidup karena pemikiran yang menjadi kaya melalui kimia dan akhirnya kehilangan kredibilitas,”  papar Anawati.
Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa beberapa ahli kimia terpaksamelakukan penipuan, baik secara terbuka dengan menggunakan sedikit lapisan emas/perak di atas perak/perhiasan tembaga maupun secara diam-diam menggunakan prosedur yang melapisi pemutihan tembaga dengan menyublimasi raksa. Meski begitu, ia mengakui bahwa ada saja ahli kimia yang  jujur.
Ibnu Khaldun juga mengkritisi pandangan dan teori tenteng kimia yang dicetuskan  al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Tughrai. “Ilmu pengetahua manusia tak berdaya bahkan untuk mencapai yang terendah sekalipun, kimia menyerupai seseorang yang ingin menghasilkan manusia, binatang atau tanaman.” Anawati mengatakan, dalam mengkritisi ilmu kimia, Ibnu Khaldun pun menggunakan sosial logikanya. Anawati menuturkan bahwa Ibnu Khaldun dalam kitabnya menegaskan bahwa kimia hanya dapat dicapai melalui pengaruh psikis (bi-ta’thirat al-nufus). Hal yang luar biasa menjadi salah satu keajaiban dari ilmu gaib/ilmu sihir (rukiat) … Mereka tak terbatas, tak dapat diklaim untuk mendapatkan mereka.”
Prof Hamed A EAD, dari Universitas Kairo dalam tulisannya bertajuk Alchemy in Ibn Khaldun’s Muqaddimah mengatakan bahwa Ibnu Khaldun mendefinisikan kimia sebagai “ilmu yang mempelajari zat yang mana generasi emas dan perak tiruan bisa diciptakan.”
Begitulah Ibnu Khaldun mengupas ilmu pengetahuan alam dalam karyanya yang sangat fenomenal, Al-Muqaddimah.
3.      Dibalik Penulisan Muqaddimah
lbnu Khaldun adalah seorang ilmuwan besar yang terlahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 atau 1 Ramadhan 732 H.  Ia bernama lengkap Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun Al-Hadrami Al-Ishbili. Selain dikenal sebagai pemikir hebat, ia juga seorang politikus kawakan.Setelah mundur dari percaturan politik praktis, Ibnu Khaldun bersama keluarganya memutuskan untuk menyepi di Qalat Ibnu Salamah, sebuah istana yang terletak di negeri Banu Tajin, selama empat tahun. Selama masa kontemplasi itulah, Ibnu Khaldun menyelesaikan penulisan karyanya yang sangat fenomenal bertajuk Al-Muqaddimah.”Dalam pengunduran diri inilah saya merampungkan Al-Muqaddimah, sebuah karya yang seluruhnya orisinal dalam perencanaannya dan saya ramu dari hasil penelitian luas yang terbaik,” ungkap Ibnu Khaldun dalam biografinya yang berjudul Al-Tarif bi Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Sharqan.Buah pikir Ibnu Khaldun itu begitu memukau. Tak heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J Toynbee menganggap Al-Muqaddimah sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah.
Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya berjudul Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, salah satu tesis Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah yang sering dikutip adalah: `Manusia bukanlah produk nenek moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial.”
Secara garis besar, Tarif Khalidi dalam bukunya Classical Arab Islam membagi Al-Muqaddimah menjadi tiga bagian utama. Pertama, membicarakan histografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan Arab-Muslim. Kedua, Al-Muqaddimah mengupas soal ilmu kultur.
Bagi Ibnu Khaldun, ilmu tersebut merupakan dasar bagi pemahaman sejarah. Ketiga, mengupas lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai dengan abad ke-14. Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang berjudul al-Ibar, kenyataannya Al-Muqaddimah lebih termasyhur. Pasalnya, seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibnu Khaldun diantara menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis.”Di tangan Ibnu Khaldun, sejarah menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari dongeng-dongeng,” papar Syafii Maarif. Bermodalkan pengalamannya yang malang-melintang di dunia politik pada masanya, Ibnu Khaldun mampu menulis Almuqaddimah dengan jernih. Dalam kitabnya itu, Ibnu Khaldun juga membahas peradaban manusia, hukum-hukum kemasyarakatan dan perubahan sosial.
Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History, lewat Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Salah satu prinsip yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai ilmu kemasyarakatan antara lain; “Masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk soisal berubah dan berkembang.” Pemikiran Ibnu Khaldun telah memberi pengaruh yang besar terhadap para ilmuwan Barat. Jauh, sebelum Aguste Comte pemikir yang banyak menyumbang kepada tradisi keintelektualan positivisme Barat metode penelitian ilmu pernah dikemukakan pemikir Islam seperti Ibnu Khaldun (1332-1406).
Dalam metodeloginya, Ibnu Khaldun mengutamakan data empirik, verifikasi teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat ini. “Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial,” papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ibnu Khadun sebagai seorang pemikir merupakan sebuah produk sejarah. Oleh karena itu untuk membaca pemikirannya, aspek historis dan pengetahuan agama islam. Sebagai seorang Filosof muslim pemikiran ibnu khaldun sangatlah rasional dan banyak berpengaruh kepada logika. Tujuan umum penulisan sejarah bagi Ibnu Khaldun adalah agar generasi berikutnya dapat mengetahui dan menyikapi keadaan masa lalu serta dapat mengambil ibrah dalam upaya membangun masa depan. Sejarahlah yang menjadi jembatan pertemuan masa lalu dan masa yang akan datang. Ibnu Khaldun sangat menonjol diantara sejarawan lainnya, karena memperlakukan sejarah sebagai ilmu tidak hanya sebagai dongeng.
Pengaruhnya begitru luar biasa, tak hanya mewarnai pemikiran  di dunia Islam, namun juga peradaban Barat. Orang Yunani menyebut karya Ibnu Khaldun itu sebagai Prolegomena. Sejumlah pemikir sepakat bahwa Muqaddimah adalah karya pertama yang mengkaji  filsafat sejarah, ilmu-ilmu sosial, demografi, histografi serta sejarah budaya.  Selain itu, Ibnu Khaldun  dalam adikaryanya itu juga membedah dan mengupas masalah teologi Islam.  Yang  lebih menarik lagi, Ibnu Khaldun pun membahas sains atau ilmu pengetahuan alam dalam kitabnya yang sangat populer itu. Secara khusus, Ibnu Khaldun mengupas tentang studi biologi dan kimia dalam bab tersendiri mengenai ilmu pengetahuan alam.


DAFTAR PUSTAKA

Amin, Muhammad Miskan, 1983, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta: UI Prees.
Baali, Fuad dkk, , 1989, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Khaldun,Ibnu, 1980, Muddadimah Penerjemah Ahmadi Thaha, Jakarta: Mustaka Firdaus.
Supena, Ilyas, 2013, Filsafat Islam, Yogyakarta: Ombak.



[1] Miskan Muhammad Amin, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: UI Prees, 1983), hal 57
[2] Ilyas Supena, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Ombak, 2013), hal 172
[3] Ibid, hal 20
[4] Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), hal 119
[5] Ilyas Supena, Falsafat Islam, (Yogyakarta: Ombak, 2013), hal 179
[6] Ibnu Khaldun, Muddadimah Penerjemah Ahmadi Thaha, (Jakarta: Mustaka Firdaus,1980), hal 141
[7] Ilyas Supena, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Ombak, 2013), hal 190

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Motivasi dan Kepemimpinan

Motivasi Dan Kepemimpinan Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Sumber Daya Manusia  Dosen Pengampu : Dr. H. Abdul Choliq, MT.,...