KLASIFIKASI
SAINS DALAM PEMIKIRAN IBNU KHALDUN
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Falsafah Kesatuan Ilmu
Dosen
Pengampu: Dr. Ilyas Supena, M.Ag
Disusun
Oleh :
Fitria
Cahyaningrum (1601036015)
Lia
Lailatul Khasanah (1601036017)
Aly
Mahfudz (1601036036)
Moch.
Rehan Mubarok (1601036021)
M.
Ardian C.T.H (1601036032)
MANAJEMEN
DAKWAH
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Nama sebenar
Ibnu Khaldun ialah Abdul al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Khaldun al-Hadrami. Nama
Khaldun berasai dari keturunan Khalid bin Uthman iaitu seorang tentera Yaman
yang pernah bergabung dengan tentera Andalusia. Semasa di Andalusia, nama
Khalid bertukar kepada Khaldun. Dilahirkan di Tunisia pada tahun 732H/1332M dan
meninggal dunia di Kaherah.
Muqaddimah inilah karya
monumental Ibnu Khaldun, seorang ilmuwan dan sejarawan agung pada abad ke-14 M.
Buku yang ditulis pemikir dari Tunisia, Afrika Utara itu tercatat sebagai karya
yang sangat mengagumkan. Pengaruhnya begitru luar biasa, tak hanya mewarnai
pemikiran di dunia Islam, namun juga peradaban Barat.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Biografi
Ibnu Khaldun?
2. Apa
Corak Pemikiran Ibnu Khaldun?
3. Bagaimana
Pemikiran Filsafat Ibnu Khaldun?
4. Bagaimana Pandangan Sains Dalam Kitab
Muqaddimah Ibnu Khaldun ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun lahir di
Tunisia (1332 M-1406 M) dengan nama lengkap Wahyuddin Abdurrhman bin Muhammad bin Khaldun
al-Hudroni. Massa pertama kehidupan Ibnu Khaldun adalah menjalani masa remaja
da beajar hingga usia 20 tahun dikota Tunis-Tunisia, tempat kelahirannya.
Ayahnya
seorang keturunan Arab, sedangkan ibunya berdarah campuran antara bangsa barbar
dan Spanyol. Keluarga Ibnu Khaldun mempunyai pengaruh yang luas dibidang
politikpada abad XI.[1]
Keluarga Ibnu Khaldun berasal dari wilayah Hadraaut-Yaman yang berhijrah sejak
perluasan wilayah islam ke Adalusia dan berdomisili diwilayah Sevilla,Spanyol.[2]
Ibnu Khaldun dilahirkan
di keluarga yang berpendidikan yang terhormat ia dibesarkan dalam atmosfer
pendidikan yang baik. Ayah Ibnu Khaldun adalah guru pertamanya, ia belajar
membaca dan menghafal al-Qur’an kemudian belajar qiraat (tata baca) kepada Imam
Andalus. Ibnu Khaldun belajar memebaca, menulis dan ilmu bahasa dari ayahnya
sendiri. Selain itu, ia juga belajar Fiqih, retorika dan bahasa arab dan
mempelajari kitab-kitab Hadist. Diantaranya adalah al-kutub as-sittah dan al-muwatta,
serta mendapatkan ijazah keilmuan dalam bidang ini, ia juga mempelajari secara
mendalam fiqih madzhab Maliki.[3]
Masa kedua perjalanan
hidup Ibnu Khaldun disebut sebaga masa Petualangan politik, yang bermula diusia
20 tahun hingga 43 tahun. Ibnu Khaldun saat itu bertekat berangkat kekota
Fez-Maroko untuk menimba ilmu, yang kala itu tempat tersebut kaya dengan para
ulama tekenal yang hijrah ke Andalusia. Karir Ibnu Khaldun diawali dengan
menjadi seorang sekretaris pribadi bagi Sultan Muda Abu Ishaq. Jabatan demi
jabatan diterima Ibnu Khaldun diberbagai dinasti yang berganti ganti menguasai
wilayah Afrika Utara. Setelah lebih dari 30 tahun berpolitik, Ibnu Khaldun
memilih beristirahat dari dunia politik dan berkonsentrasi pada dunia keilmuan.
Ia memutuskan untuk berhenti dan kemudian menulis al-Ibar beserta muqaddimah
pada tahun 779H.
Masa ketiga kehidupan
Ibnu Khaldun adalah menjalani masa tua
dan isolasi diri untik konsentrasi terhadap ilmu pengetahuan yang dimulai dari
usia 43 tahun hingga wafatnya. Pada saan itu Ibnu Khaldun memeilih meninggalkan
dunia politik dan ia mulai mengarang kitab Al-Muqqadimah yang sangat legendaris
itu. Saat mengarang kitab tersebut, Ibnu Khaldun merasa kekurangan referensi
dan meninggalkannya selama 27 tahun kemudian ia menyelesaikan kitab
Al-Muqaddimah di Tunisia.
Dalam Al-Muqaddimah,
Ibnu Khaldun , meninggalkan tanda-tanda kemunduran islam dan jaruh bangunnya kekhalifahan
melalui pegalamnnya selama mengembara ke Andalusia dan Afrika Utara. Meskipun
telah berkonsentrasi mengaar dan mendalami ilmu, lawan-lawan Ibnu Khaldun terus
mengganggu yang akhirnya ia memutuskan meninggalkan Tunisia dan Arab Magribi.
Pada tahun 1382 ia meninggalkan Tunisia menuju Alexandria dan kemudian ke
Cairo. Ia mulai mejalani hidup di Cairi sebagai pengajar di Universitas
Al-Azhar. Pada tahun 1384 ia diangkat sebagai hakim untuk Madhab Maliki. Pada bulan Desember 1400, Ibnu
Khaldun keluar dari Cairo menuju
Damaskus. Di Damaskus, ia kembali menghadapi sebuah pertarugan kekuasaan yang
memaksa ia kembali ke Cairo, pada tahun 140 ia tiba di Cairo dengan sambutan
hangat dan diangkat kembali sebgai hakim hingga wafatnya pada tanggal 17 Maret
1406.
B. Corak
Pemikiran Ibnu Khaldun
Ibnu Khadun sebagai
seorang pemikir merupakan sebuah produk sejarah. Oleh karena itu untuk memebaca
pemikirannya, aspek sistoris dan pengetahuan agama islam. Sebagai seorang Filosof
muslim pemikiran ibnu khaldun sangatlah rasional dan banyak berpengaruh kepda
logika sementara itu pandangan lain, menyatakan bahwa ibnu khaldun mendapat
pengaruh dari ibnu Rusyd (1126-1198 M) dalam masalah hubungan antara filsafat
dan agama namun, ada ciri utama yang sangat khas dari pemikiran ibnu khaldun
yaitu ia berhasil menyatukan pemikiran yang sangat berbed dari pemikiran
filsafat Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.[4]
Semua hasil pemikiran
dari Ibnu Khaldun adalah hasil dari kondisi sosio-kultural yang ada pada
masanya. Al-muqaddimah, pendahuluan bagi kitab al-‘ibar merupakan perasaan dari
hasil renungan teoritisnya, pengalaman empirisnya sebagai tokoh yang terlibat
langsung dalam intrik-intrik politik Afrika Utara dan Granada. Corak
pemikirannya yang rasionalistik-empiristik, sufistik kirannya telah dijadikan
dasar pijakan dalam membangun teori-teori sejarahnya. Beberapa karya yang cukup
terkenal dari ibnu khladun:
1. Kitab
al-Ibar (7 jilid) yang telah ia refisi dan ditambahnya beberapa bab baru
didalamnya, nama kitab ini menjadi Al-‘Ibar Wa Diwanul Mubtadak’awil Khabar Fiayyamil
‘Arab Wal ‘Ajam Wal Barbar Wa Man’asharahum Min Dzawis Sulthan Akbar. Kitab ini
pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada tahun 1863, dengan
judul Les Prolegomenes d’Ibn Khaldoun.
2. Muqaddimah
Ibnu Khaldun (pendahuluan atas kitab Al-‘Ibar yang bercork sosiologi-historis,
dan filosofis).
3. At-ta’rif
bi Ibnu Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya).
4. Lubub
Al-Muhassal Fi Ushul At-Diin ( sebuah kitab tentang permasalahan dan
pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar
Al-Mutakadimiin Wa Al-Muta’akh-khiriin karya Imam Fahrudi ar-Razi).
Selain karya diatas masih banyak lagi
karya-karya Ibnu Khaldun yang tidak kalah pentingnya.
C. Pemikiran
Filsafat Ibnu Khaldun
1. Filsafat
Sejarah
Tujuan umum penulisan
sejarah bagi Ibnu Khaldun adalah agar generas berikutnya dapat mengetahui dan
menyikapi keadaan masa lalu serta dapat mengambil ibrah dalam upaya membangun
masa depan. Sejarahlah
yang menjadi jembatan
pertemuan
masa lalu dan masa yang akan datang. Ibnu Khaldun sangat menonjol diantara sejarawan lainnya, karena memperlakukan sejarah sebagai
ilmu
tidak hanya sebagai dongeng. Dia menulis sejarah dengan metode beru unuk menerangkan,
memberi alasan dan mengembangkannya sebagai fisafat sosial.
Dalam hal ini ia
menggagas tentang perlunya merujuk kepada tempat peristiwa kemudian dipautkan
sebagai korelasi dengan masyarakat yang mengitarinya. Topik sejarah menurut
ibnu khaldun adalah studi sosial atau dinamika masyarakat secara integral
berikut sebab-sebabnya. Dinamika sejarah ini enurut ibnu khaldun bukan muncul
dari luar tetapi proses sosial itu sendiri dengan segaa aturannya yang alami. Salah satu buku yang ditulis ibnu
khaldun dalam perspektif filsafat sejarah adalah al-muqaddimah, buku in ditulis
berdasarkan faktafakta sejarah tentang bangsa-bangsa. Buku ini dikereksi secara
teliti dengan menggunakan metode yang menakjubkan. Sayang ibnu khaldun tidak
menyebutkan apa dan bagaimana metodennya bekerja, khaldun mengakui kelemahannya
dalam mengatasi sulitnya menulis buku ini dengan berbagi problem yang ada
hingga ia harus meminta pembacanya untuk merespon secara kritis.[5]
Salah satukesalahan
dalam historiografi ialah mengabaikan perubahan situasi dan kondisi pada bangsa
dan generasi. Perubahan-perubahan ini sangat tersembunyi,
sehingga perubahan itu sukar sekali dilihat. Perubahan itu terjadi karena
kebiasaan setiap generasi mengikuti kebiasaan pemerintah. Sebagaimana pribahasa
“Rakyat mengikuti agama Rajanya”. Keterangan sejarah bisa diinfiltrasi oleh
manipulasi. Pebannya adalah:
a. Keterlibatan
yang terlalu dalam terhadap madzhab
b. Kepercayaan
yang berlebihan terhadap orang-orang yang memberitakan sejarah
c. Tidak
dapat memahami maksud yang sebenarnya
d. Asumsi
yang tidak beralasan terhadap kebenaran
e. Ketidak
tahuan tentang bagaimana peristiwa sesuai dengan realitas
f. Kecenderungan
terikat pada orang besar, berkedudukan tinggi untuk memuji, menyiarkan
kemashuran, menganggap baik segala kebutuhan mereka
g. Ketidak
tahuan tentang watak berbagai peristiwa yang muncul dalam peradaban.
Perihal
kebenaran sejarah, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa hukum sejarah berlaku secara
universal sehingga kebenarannya dapat terungkap. Untuk mengetaui benar tau
salah suatu sejarah didasarkan atas kemungkinan da ketidak mungkinan. Kita
harus mempelajari hidup manusia untuk mengetahui perbedaan karakteristik pokok
dengan karakteristik umum. Pedoman untuk menyatakan kebenaran suatu sejarah
adalah dengan menggunakan metode yang dapat ditunjukkan dan diakui masyarakat
hingga bersih dari kesatuan. Karena itu, Ibnu Khaldun beurusaha mempertautkan
sejarah dengan filsafat. Dengan cara ini, ibnu khaldun tampaknya ingin
mengatakan bahwa sejarah memberikan kekuatan intuisi dan inspirasi kepada
filsafat, sedangkan filsafat menawarkan kekuatan logika kepada sejarah, dengan
begitu seorang sejarawan akan mampu memperoleh hasil yang relatif valit dari
proses penelitian sejarahnya dengan dasar logika kritis.
2. Filsafat
Sosial
a. Orang
Badui dan Orang Kota
Manusia hidup
bermasyarakat tidak lain hanya untuk saling membantu dalam memperoleh kehidupan
dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Diantara mereka ada yang hidup bertani,
menanam sayur dan buah-buahan dan memelihara binatang.[6]
Orang Badui hidup di padang pasir, sedangkan orang kota menetap orang Badui
merupakan basis dan lebih tua daripada orang-orang kota yang penduduknya
menetap.
Penduduk kota banyak
berurusan dengan hidup enak mereka terbiasa hidup mewah dan banyak mengikuti
hawa nafsu. Jiwa merek telah dikotori oleh berbagai macam akhlak tercela.
Sedangkan orang badui meskipun juga berurusan dengan dunia namun masih dalam
batas kebutuhan bukan dalam kemewahan, hawa nafsu dan kesenangan.Orang badui
lebih beradi daripada penduduk kota, karena penduduk kota malas dan suka yang
mudah-mudah. Mereka larut dalam kenikmatan dan kemewahan mereka mempercayakan
urusan keamanan diri dan harta pada penguasa, sedangkan orang badui hidup
memencilkan diri dari masyarakat mereka hidup liar ditempat-temat jauh dari
luar kota dan tidak pernah mendapatkan pengawasan tentara. Karena itu mereka sendiri yang
mempertahankan diri merekasendiri dan tidak minta bantuan pada orang lain.
b. Solidaritas
Sosial
Hanya suku yang etrikat
solidaritas sosial yang mampu bertahan hidup dipadang pasir di kalangan
suku-suku badui, pengaruh wibawa ada pada pamuka suku. Kamung-kampung suku
badui dijaga dari serangan musuh yang datang dari luar dengan satu pasukan yang
terdiri dari pemuda gagah berani. Penjagaan yang mereka lakukan baru akan
berhasil apabila mereka terdiri dari satu ikatan solidaritas sosial.
Solidaritas sosial itu berasal dari ikatan darah atau kata lain yang memiliki
ungsi yang sama apabila tingkat kekeluargaan antara dua orag dekat sekali maka,
jelaslah bahwa ikatan darah itu membawa kepada solidaritas yang sesungguhnya,
apabila tingkat kekeluargaan itu jatuh maka ikatan darah itu lemah.
Tujuan akhir
solidaritas adalah kedaulatan. Karena solidaritas itulah yang memepersatukan
tujuan, mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu solidaritas sosial
memperoleh kadaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari solidaritas
golongan lain yang tidak ada hubungan dengannya. Jika solidaritas itu setara
maka orang-orang berada dibawahnya akan sebanding, jika solidaritas sosial
dapat melakukan solidaritas lain, keduanya akan bercampur yang secara
bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tingg dari kedaulatan. Akhirnya apabila
suatu negara sudah tua umurnya dan para pembesarnya yang terdiri dari
solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya maka, solidaritas sosial yang
baru akan merebut kedaulatan negara.
Orang badui dapat
memiliki kedaulatan hanya dengan mempergunakan rona relijius, seperti kenabian,
kewalian atau pengaruh agama yang besar. Karena sifat lir yng ada pada mereka,
orang badui menjadi bangsa yang paling sulit dipimpin orang lain. Sifat merek
kasar, bangga, ambisius dan berlomba-lomba menjadi pemimpin, namun apabila ada
agama disana melalui kenabian atau kewalian maka mereka memiliki pengaruh yang
menguasai diri mereka. Dengan demikian, mudah bagi mereka untuk tunduk dan
berkumpul membentuk kesatuan sosial. Agama itu melenyapkan sifat kasar dan
bangga diri.
c. Filsafat
Politik
1. Pemerintahan
Salah satu topik kajian
Ibnu Khaldun adalah tentang pemerintahan. Menurut ibnu khaldun kerajaan hanya
bisa ditegakkan dengan solidaritas sosial. Kedudukan sebagai raja adalah suatu
kedudukan yang terhormat dan diperebutkan karena memberikan kepada orang yang
memegang kedudukan itu segala kekayaan duniawi dan jugakepuasan lahir dan
batin. Suatu
satu golongan umat manusia hanya bisa mendapat kekuasaan dengan berjuang,yaitu
perjuangan yang kemenangan dan berdirinya suatu negara. Apabila tujuan itu
telah tercapai, perjuangan akan berhenti. Mareka malah hidup bersenang-senang
dan bermalas-malasan, kini mereka menikmati kekuasaan.[7]
Negara hancur karena beberapa sebab: pertama, pemusatan kekuasaan.
Apabila seseorang telah
memusatkan kekuasaan, berarti ia telah menekan kekuasaan, berarti ia telah
mulai menekan keinginanan orang lain dan merusak perasaan solidaritas.
Akibatnya anggota golongan menjadi malas dan enggan berperang. Solidaritas
telah dilemahkan oleh hilangnya sikaf
kejantanan dan negara mendekati kehancura.
Kedua,
pembentukan
suatu negara membawa pada kemewahan disertai dengan bertambahnya kebutuhan dan
akibat buruk karena pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. Rakyatlah yang
menderita sedangkan orang-orang kaya bermewah-mewahan.
Ketiga,
watak
negara menurut ketuhan. Jika orang sudah membiasakan diri dengan kepatuhandan
malas akibat kemewahan yang daraih, maka mereka menjadi lemah.
Dalam muqaddimahnya ibnu khaldun menyebut tahap-tahap timbul tenggelamnya
suatu negara menjadi lima tahap yaitu:
a. Tahap
konsolidasi dimana otoritas negara dengan dasar “demokrasi” didukung oleh
masyarakat (‘ashabiyyah)
b. Tahap
tirani
c. Tahap
penyalah gunaan wewenang otoritas negara untuk kepentingan penguasa.
d. Tahap
pengamanan dari munculnya ancaman dimana penguasa selalu memandang kelompok
kritis sebagai lawan
e. Tahap
keruntuhan. Dimana sistem kekuasaan tidak lagi berfungsi.
Ibnu
Khaldun menyakini bahwa masyarakat yang pada mulny bik atau sekurang-kurangnya netral
itu dirusak oleh peradaban. Dalam kondisi nomadik, masyarakat cenderung
bersifat jantan, sehat dan agresif. Peradaban kota yang mapanlah yang membutnya
menjadi lesu, pasif dan lamban, tetapi memancing-mancing invasi yang membuatnya
teruruk menjadi mangsa.
2. Negara
Berdasar Agama
Tidak ada suatu negara
yang tegak dn kuat tanpa hukum. Apabila hukum dibuat oleh orang cerdik pandai,
maka pemerintahan itu berdasarkan akal. Apabila hukum itu ditentukan oleh Allah
dengan perantaraan Rasul, maka pemerintahan itu berdasarkan agama. Oleh karena
itu, seharusnyalah negara berdasarkan agama maka, kekhalifahan adalah
memerintah rakyat sesuai dengan petunjuk agama, baik soal akherat maupun dunia.
Ibnu Khaldun lalu menyebutkan beberapa
persyaratan khalifah:
a. Memiliki
pengetahuan
b. Memiliki
sifat adil
c. Adanya
kemampuan
d. Sehat
panca indra dan anggota badan
e. Keturunan
Quraiys
Ibnu
Khaldun berharap agar penguasa-penguasa muslim menjadi bijak, arif dan tidak
tenggelam dalam keserakahan. Kemungkinan harapan dari pemikiran Ibnu Khaldun
yang menjadi salah satu faktor mengapa ibnu khaldun kerap disebut sebagai
sejarawan pesimis. Kesesuaian konsep ibnu khaldun dalam ercaturan sosial politik
kontemporer terutama dinegar-negara muslim yang menjunjung tiggi nilai-nilai
kemanusiaan, semestinya menjadi emicu bagi para pemerhati masalah ini untuk
merefleksikan konsep-konsep tersebut hingga suntansi politik senantiasa
melibatkan dimensi kemanusiaan sebagai unsur penting dalam suatu tindakan
politik. Maka dari urauan ditas, pemikiran ibnu khaldun tampaknya cukup
respresentatif untuk dijadikan bahan perenungan para penulis sejarah, politisi
dan cendekiawan muslim khususnya.
D.
Sains Dalam Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun
Muqaddimah Inilah karya monumental
Ibnu Khaldun, seorang ilmuwan dan sejarawan agung pada abad ke-14 M. Buku yang
ditulis pemikir dari Tunisia, Afrika Utara itu tercatat sebagai karya yang
sangat mengagumkan. Pengaruhnya begitru luar biasa, tak hanya mewarnai pemikiran
di dunia Islam, namun juga peradaban Barat.Orang Yunani menyebut karya Ibnu
Khaldun itu sebagai Prolegomena. Sejumlah pemikir sepakat bahwa Muqaddimah
adalah karya pertama yang mengkaji filsafat sejarah, ilmu-ilmu sosial,
demografi, histografi serta sejarah budaya.
Selain itu, Ibnu Khaldun dalam
adikaryanya itu juga membedah dan mengupas masalah teologi Islam.
Yang lebih menarik lagi, Ibnu Khaldun pun membahas sains atau ilmu
pengetahuan alam dalam kitabnya yang sangat populer itu. Secara khusus, Ibnu
Khaldun mengupas tentang studi biologi dan kimia dalam bab tersendiri mengenai
ilmu pengetahuan alam yaitu diantaranya:
1. Biologi
Teodros Kiros dalam karyanya Explorations in African Political Thought,
mengatakan, dalam bidang biologi secara khusus Ibnu Khaldun membahas masalah
teori evolusi. Menurut Khaldun, dunia ini dengan segala isinya memiliki urutan
tertentu dan susunan benda. Ia mencoba mencoba mengaitkan antara penyebab dan
hal-hal yang disebabkan, kombinasi dari beberapa bagian penciptaan dengan yang
lain, dan transformasi dari beberapa wujud menjadi sesuatu yang lain.
Selain itu,
Ibnu Khaldun juga membahas penciptaan dunia. Menurut dia, makhluk hidup berawal
dari sebuah mineral kemudian berkembang dan berakal. Secara bertahap, kemudian
berubah menjadi tanaman dan hewan. “Tahap terakhir mineral ”terhubung” dengan
tahap pertama dari tanaman, seperti tumbuhan dan tanaman tak berbiji,” tutur
Ibnu Khaldun.Tahap terakhir tanaman, lanjut dia, seperti pohon kelapa dan
tumbuhan yang merambat (pohon anggur), terhubung dengan tahap pertama binatang,
seperti keong (siput) dan kerang yang hanya memiliki kekuatan sentuh.
Menurut Ibnu Khaldun, dunia binatang kemudian semakin meluas menjadi
berbagai jenis. Dalam proses penciptaan bertahap, hewan/binatang akhirnya
mengarah ke bentuk manusia, yang mampu berpikir dan mengartikan. “Tahap
tertinggi manusia dicapai dari dunia kera, di mana kedua kecerdasan dan
persepsi ditemukan, namun belum mencapai tahap refleksi dan berpikir
sebenarnya,” tutur Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun ternyata
seorang penganut determinisme lingkungan. Dia menjelaskan bahwa kulit hitam itu
disebabkan oleh iklim panas dari gurun Sahara Afrika dan bukan karena
keturunan. “Dia justru menghalau teori Hamitic, di mana anak-anak Ham yang
dikutuk oleh makhluk hitam, sebagai mitos,” jelas Chouki El Hameldalam
karyanya Race, slavery and Islam in Maghribi Mediterranean thought: the
question of the Haratin in Morocco.
2. Kimia
Menurut George Anawati, dalam bidang kimia, Ibnu Khaldun adalah seorang
kritikus praktik kimia pada dunia Islam. “Dalam bab 23 berjudul Fi ‘Ilm
al-kimya, ia membahas sejarah kimia, yang dilihat dari ahli kimia seperti Jabir
ibnu Hayyan (721-815 M), dan teori dari perubahan logam dan elixir (obat yang
mujarab) kehidupan. ” ungkap Anawati dalam karyanya Arabic Alchemy. Anawati
menambahkan dalam bab 26 Kitab Muqaddimah yang berjudul thamrat Fi inkar
al-kimya wa istihalat wujudiha wa ma yansha min al-mafasid, Khadlun
menulis sebuah sanggahan sistematis tentang kimia dalam sosial, ilmiah, filosofis
dan dasar agama. “Dia mengawali sanggahan pada dasar sosial, argumentasi bahwa
banyak ahli kimia yang mampu mendapatkan penghasilan dari hidup karena
pemikiran yang menjadi kaya melalui kimia dan akhirnya kehilangan
kredibilitas,” papar Anawati.
Ibnu Khaldun
juga berpendapat bahwa beberapa ahli kimia terpaksamelakukan penipuan, baik
secara terbuka dengan menggunakan sedikit lapisan emas/perak di atas
perak/perhiasan tembaga maupun secara diam-diam menggunakan prosedur yang
melapisi pemutihan tembaga dengan menyublimasi raksa. Meski begitu, ia mengakui
bahwa ada saja ahli kimia yang jujur.
Ibnu Khaldun juga mengkritisi pandangan dan teori tenteng kimia yang
dicetuskan al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Tughrai. “Ilmu pengetahua manusia
tak berdaya bahkan untuk mencapai yang terendah sekalipun, kimia menyerupai
seseorang yang ingin menghasilkan manusia, binatang atau tanaman.” Anawati
mengatakan, dalam mengkritisi ilmu kimia, Ibnu Khaldun pun menggunakan sosial
logikanya. Anawati menuturkan bahwa Ibnu Khaldun dalam kitabnya menegaskan
bahwa kimia hanya dapat dicapai melalui pengaruh psikis (bi-ta’thirat
al-nufus). Hal yang luar biasa menjadi salah satu keajaiban dari ilmu gaib/ilmu
sihir (rukiat) … Mereka tak terbatas, tak dapat diklaim untuk mendapatkan
mereka.”
Prof Hamed A
EAD, dari Universitas Kairo dalam tulisannya bertajuk Alchemy in Ibn Khaldun’s
Muqaddimah mengatakan bahwa Ibnu Khaldun mendefinisikan kimia sebagai “ilmu
yang mempelajari zat yang mana generasi emas dan perak tiruan bisa diciptakan.”
Begitulah
Ibnu Khaldun mengupas ilmu pengetahuan alam dalam karyanya yang sangat
fenomenal, Al-Muqaddimah.
3.
Dibalik Penulisan Muqaddimah
lbnu Khaldun adalah seorang ilmuwan besar yang terlahir di Tunisia pada 27
Mei 1332 atau 1 Ramadhan 732 H. Ia bernama lengkap Waliuddin Abdurrahman
bin Muhammad Ibn Khaldun Al-Hadrami Al-Ishbili. Selain dikenal sebagai pemikir
hebat, ia juga seorang politikus kawakan.Setelah mundur dari percaturan politik
praktis, Ibnu Khaldun bersama keluarganya memutuskan untuk menyepi di Qalat
Ibnu Salamah, sebuah istana yang terletak di negeri Banu Tajin, selama empat
tahun. Selama masa kontemplasi itulah, Ibnu Khaldun menyelesaikan penulisan
karyanya yang sangat fenomenal bertajuk Al-Muqaddimah.”Dalam pengunduran diri
inilah saya merampungkan Al-Muqaddimah, sebuah karya yang seluruhnya orisinal
dalam perencanaannya dan saya ramu dari hasil penelitian luas yang terbaik,”
ungkap Ibnu Khaldun dalam biografinya yang berjudul Al-Tarif bi Ibn-Khaldun wa
Rihlatuhu Gharban wa Sharqan.Buah pikir Ibnu Khaldun itu begitu memukau. Tak
heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J Toynbee menganggap Al-Muqaddimah
sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah.
Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya berjudul Ibnu Khaldun dalam
Pandangan Penulis Barat dan Timur, salah satu tesis Ibnu Khaldun dalam
Al-Muqaddimah yang sering dikutip adalah: `Manusia bukanlah produk nenek
moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial.”
Secara garis
besar, Tarif Khalidi dalam bukunya Classical Arab Islam membagi Al-Muqaddimah
menjadi tiga bagian utama. Pertama, membicarakan histografi mengupas
kesalahan-kesalahan para sejarawan Arab-Muslim. Kedua, Al-Muqaddimah mengupas
soal ilmu kultur.
Bagi Ibnu
Khaldun, ilmu tersebut merupakan dasar bagi pemahaman sejarah. Ketiga, mengupas
lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai dengan
abad ke-14. Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang berjudul
al-Ibar, kenyataannya Al-Muqaddimah lebih termasyhur. Pasalnya, seluruh
bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam
kitab itu. Dalam buku itu Ibnu Khaldun diantara menyatakan bahwa kajian sejarah
haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis.”Di tangan Ibnu Khaldun, sejarah
menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari dongeng-dongeng,” papar
Syafii Maarif. Bermodalkan pengalamannya yang malang-melintang di dunia politik
pada masanya, Ibnu Khaldun mampu menulis Almuqaddimah dengan jernih. Dalam
kitabnya itu, Ibnu Khaldun juga membahas peradaban manusia, hukum-hukum
kemasyarakatan dan perubahan sosial.
Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History, lewat
Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan
jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Salah
satu prinsip yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai ilmu kemasyarakatan antara
lain; “Masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk soisal berubah dan berkembang.” Pemikiran
Ibnu Khaldun telah memberi pengaruh yang besar terhadap para ilmuwan Barat.
Jauh, sebelum Aguste Comte pemikir yang banyak menyumbang kepada tradisi
keintelektualan positivisme Barat metode penelitian ilmu pernah dikemukakan
pemikir Islam seperti Ibnu Khaldun (1332-1406).
Dalam metodeloginya, Ibnu Khaldun mengutamakan data empirik, verifikasi
teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar
pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat ini. “Ibnu Khaldun adalah
sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial,” papar Ilmuwan
asal Jerman, Heinrich Simon.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ibnu
Khadun sebagai seorang pemikir merupakan sebuah produk sejarah. Oleh karena itu
untuk membaca pemikirannya, aspek historis
dan pengetahuan agama islam. Sebagai seorang Filosof muslim pemikiran ibnu
khaldun sangatlah rasional dan banyak berpengaruh kepada logika. Tujuan umum penulisan sejarah bagi
Ibnu Khaldun adalah agar generasi
berikutnya dapat mengetahui dan menyikapi keadaan masa lalu serta dapat
mengambil ibrah dalam upaya membangun masa depan. Sejarahlah yang menjadi jembatan pertemuan masa lalu dan masa yang
akan datang. Ibnu Khaldun sangat menonjol diantara sejarawan lainnya, karena
memperlakukan sejarah sebagai ilmu tidak hanya sebagai dongeng.
Pengaruhnya
begitru luar biasa, tak hanya mewarnai pemikiran di dunia Islam, namun
juga peradaban Barat. Orang Yunani menyebut karya Ibnu Khaldun itu sebagai
Prolegomena. Sejumlah pemikir sepakat bahwa Muqaddimah adalah karya pertama
yang mengkaji filsafat sejarah, ilmu-ilmu sosial, demografi, histografi
serta sejarah budaya. Selain itu, Ibnu Khaldun dalam adikaryanya
itu juga membedah dan mengupas masalah teologi Islam. Yang lebih
menarik lagi, Ibnu Khaldun pun membahas sains atau ilmu pengetahuan alam dalam
kitabnya yang sangat populer itu. Secara khusus, Ibnu Khaldun mengupas tentang
studi biologi dan kimia dalam bab tersendiri mengenai ilmu pengetahuan alam.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin, Muhammad Miskan, 1983,
Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta: UI
Prees.
Baali, Fuad dkk, , 1989, Ibnu Khaldun
dan Pola Pemikiran Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Khaldun,Ibnu, 1980, Muddadimah
Penerjemah Ahmadi Thaha, Jakarta: Mustaka Firdaus.
Supena, Ilyas, 2013, Filsafat Islam,
Yogyakarta: Ombak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar