Assalamu’alaikum sobat jumpa lagi, berikut akan
membahas tentang Sejarah Mu’tazilah. Silahlan
disimak selengkapnya.
SEJARAH MU’TAZILAH
Mu’tazilah muncul pada awal abad ke-2 di Kota Bashrah.
Para ahli sejarah telah bersilng pendapat mengenai penyebab penamaannya.
Al-Baghdadi dalam bukunya, al-Farq Bayna
al-Firaq, mengatakan bahwa dinamai mu’tazilah karena keterasingan
(i’tizal)-nya dari opini umat dalam klaim-kaimnya bahwa orang fasik dalam umat
islam adalah bukan mukmin dan bukan pula kafir.
Golongan ini muncul sebagai respon persoalan teologis
yang berkembang dikalangan khawarij dan murji’ah tentang pemberian status kafir
kepada pelaku dosa besar setelah peristiw tahkim. Gologan ini, kata Harun
Nasution, membawa persoalan-persoalan teologis yang lebih mendalam dan bersifat
filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji’ah,
dalam pembahasan mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum
rasionalis islam”
Syarastani dalam bukunya, al-Milal wa an-nihal, mengatakan bahwa mereka disebut Mu’tazilah
karena pendiri mereka, washil bin ‘Atha’, ketika berbeda pendapat dengan
gurunya, Hasan al-Bashri, tentang masalah orangorang yang melakukan dosa-dosa
besar dan mencela pendapatnya tentang hal tersebut, meninggalkan (i’tazala) majelis
Hasan al-Bashri bersama orang-orang yang sepaham dengannya dalam masalah itu.
Pada dasarnya nama itu juga bisa dirujuk pada kondisi sebelum pemisahan diri
Washil dari hasan al-Bashri, prinsip mu’tazilah adalah prinsip politik.
Mu’tazilah telah mucul pada suasana yang sama ketika kemunculan syi’ah dan
khawarij. Naiknya Ali ketampuk kekhalifahan, ada sebuah titik tolak bagi arus
politik dan pemikiran terpenting dalam islam. Ketika telah melihat Thalhah dan
Zubair memberontak kepada Ali setelah ‘Utsman terbunuh, dan kedua orang ini
menuntut balas atas darah khalifah yang tertumpah. Dari kalangan sahabat
menolak baiat kepada Ali, yang dipelopori oleh Sa’at bin Abi Waqqash; ‘Abdullah
bin ‘Umar, Muhamad bin Maslamah dan ‘Utsmanbin Zaidmereka mengambil sikap
netral.
Al-Naubakhti dalam bukunya, Firaq al-Syiah mengatakan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqas; ‘Abdullah
bin ‘Umar, Muhamammad bin Sulamah dan Usamah bin Zaid memisahkan diri dari Ali,
mereka tidak memeraginya dan tidak pulan ikut berperang bersamanya, maka mereka
disebut Mu’tazialah, dan merek merupakan cikal-bakal mu’tazilah-mu’tazilah yang
muncul kemudian. Kelompok Washil bin ‘Atha’ bermarkas di Bashrah dan aktif pada
masa pemerintahan Hasyam dan para khalifah Bani Umayah sesudahnya (
105H/723M-131H/747M). Gerakan penaklukan sudah berhenti dan kaum muslim menempati
kota-kota besar, mereka berpaling pada pemahaman agama dimana pada masa-masa
awal mereka hanya berpegang pada fitrah
keimanan tanpa mendiskusikan masalah wahyu dan mulai dihadapkan pada kriteria
rasional. Penaklukan telah memasukkan unsur-unsur baru kedalam islam
sebagaimana perpecahan oitik dan kekcauan internal memelihara problem-problem
penting, diantaranya adalah masalah pelaku dosa di tengah umat, atau
orang-orang yang dituduh telah melakukan dosa-dosa besar selain kemusrikan.
Dosa-dosa besar ii menjadi merajalela disebabkan perbedaan paham para pemimpin
atas kekhalifahan dan juga oleh pembunuhan dua khalifah yaitu ‘Utsman dan Ali , maka mereka mulai megkaji
masalah-masalah ini menurut beragam panangan yang berbeda dan oendapat yang
saling bertolak belakag.
Dosa besar ada dua macam yaitu (1) doa besar syirik dan
pelakunya adalah kafir dan kekal dineraka, dan (2) dosa besar bukan syirik.
Kaum muslim menganggap dosa besar selain syirik adalah fasik atau pendurhaka
(fajir). Khawarij berpendapat bahwa dia adalah khafir yang kekal dineraka
karena keimanan tidak bisa menjadi sempurna, kecuali dengan pengalaman. Murji’ah
berpendapat bahwa dia adalah mukmin dan dan tercegah dari hukuman qisas, dan
perkaranya ditangguhkan hingga hari kiamat. Masalah ini belum terselsaikan maka
muncullah Washil bin ‘Atha’ bahwa dia
menganggap pelaku dosa besar adalah fasik dan menempati salah satu dari dua
posisi: kafir dan iman. Sekiranya dia kekal dineraka, maka tingkatannya lebih
ringan dibandingkan tingkatan untuk orang-orang kafir, jika dia meninggal dunia
tanpa sempat bertaubat. Mu’tazilah terbentuk dari dua teori manzilah bayna manzilatayn (posisi
tengah-tengah) muncul sebagai hasil dari gelora Washil dan para pengikitnya
dalam pemikiran rasional.
Diantara musuh-musuh islam dari dalam misalnya adalah
Rafidhah. Mereka adalah dari kalangan si’ah eksterem yang memasukkan kedalam
mazhabnya unsur-unsur asing di luar islam, seperti pandangan dua lishm, dan la-adriyyah dan kelompok Muawiyah. Ada
juga sekelompok orang yang mengklaim bahwa islam merupkan salah satu sekte
kristen karena keyakinan mereka tentang al-Qur’an, kalam Allah yang bukan
makhluk, menyerupai keyakinan kristen bahwa Yesus adalah kalam Allah yang
azali, Maka Mu’tazilah berpendapat tentang kemakhlikan al-Qur’an.
Mu’tazilah berpengaruh oleh Yudaisme dan Kristen.
Dikatakan bahwa ide tentang kemaklukan al-Qur’an berasal dari Yudaisme yang
disebarkan oleh sebagian Yahudi di dunia islam. Mu’tazilah mengkutup teologi
al-Dismasyqi bahwa Allah adalah baik dan sumber segala kebaikan, bahwa Dia
tidak tersusun dari bagian-bagian yang tidak memiiki sifat-sifat yang
menjadikan-Nya berbilang bentuk-bentuk dan perumpamaan-perumpamaan yang
digunakan dalam Kitab Suci. Mereka mengutip Ibn Qurrah ide pengagungan terhadap
akal menusia bahwa manusia dengan akalnya mampu mengenal Allah dan bahwa dia
diberi akal untuk tujuan dan bahwa manusia dengan akalnya mampu membedakan
perbuatan baik dan perbuatan buruk.
Kemunculan Mu’tazilah dan keterpengaruhannya oleh teologi
Kristen sehingga mempersenjatai diri dengan dalil-dalil logis untuk membela
pandangan sebagaimana membela gama islam dari berbagai arus keagamaan dan ras.
Para pengikutnya beralih dengan sekuat tenaga pada kajian-kajian filsafat
Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yang telah mengalami kemajuan.
Kemudian sedikit demi sedikit mereka beralih dari kerangka pembelaan teologi ke
kajian-kajian teoristis yang mengantar mereka pada subjek-subjek filsafat
Yunani seperti gerak dan diam, subtansi da aksiden.
Pandangan keiru yang sering dikatakan oleh para sejaawan
filsafat islam, yaitu Mu’tazilah mengambil logika Aristoteles dan dengannya
mereka memerangi musuh-musuh mereka. Metode pemikiran kajian itu adalah “
aturan yang melindungi pkiran dari kekeliruan dalam menyimpulkan hukum ” dan
bahwa para mutakalimin dan Mu’tazilah memilikinmetodemetode tersendiri dalam
berargumentasi. Di tempat lain, dia berkata , “para pemikir islam , setelah
(pemikiran Aristoteles) diterjemahkan kedalam bahasa Arab dan mereka
mengetahuinya, mereka mencelanya, tidak berpaling padanya, serta tidak pula
pada pemiliknya karena keseimbangan rasional dan syariat meteka”. Yang menjadi
penyebabnya adalah apa yang diihat oleh Ibn Khaldun, “bahwa kaum muslim tidak
berpegang pada analogi ilmu-ilmu filsafat yang bertentangan dengan kaidah”.
Kaum Ushuli mengesampingkan filsafat
Aristoteles, lalu mengesampigkan logikannya yang digunakan untuk mengukuhkan
dan menyokog filsafat ini.[1]
[1] Nasrullah, Riwayat Filsafat Arab Jilid I. (Jakarta Selatan: Sadra
Internasional Institute, 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar